Thank You, Allah

Sudah hampir 1 bulan ini saya pulang kerja menggunakan kereta ekonomi, baik itu krl maupun krd (lihat sikon yang aman), tapi biasanya krl. Selain karena lebih murah (Rp. 1.500), juga karena dengan menggunakan krl yang berangkat pukul 18.15 dari Stasiun Tanah Abang saya tidak perlu was-was ketinggalan sholat maghrib. Selain itu, dengan saya pulang pada pukul segitu, saya juga tidak menghambat papa untuk sholat maghrib di masjid on time.

Waktu awal-awal, saya prefer naik krl express, karena hanya 15 menit dari St. Tanah Abang ke St. Pondok Ranji. Tapi karena sering terlambat, mahal dan lebih sering menampakkan keegoisan para penggunanya, akhirnya saya prefer naik ekonomi.

Sebenarnya, tidak semua penggunaka krl express egois, tapi ada hal lain yang membuat saya memilih krl eko, diantaranya:
  1. Pada pukul segitu, tidak terlalu ramai penumpang (kecuali ada pembatalan di jam-jam sebelumnya sehingga menimbulkan penumpukan penumpang)
  2. Meskipun harus pasrah menghirup asap rokok yang terkadang tidak bisa dihindari, tapi dengan naik krl, saya jadi lebih bersyukur. Bersyukur dengan keadaan saya, karena ternyata saya masih jauh lebih beruntung dibandingkan beberapa orang yang ada di sana.
Miris sekali ketika saya naik kereta ekonomi. Banyak tukang minta-minta, baik ibu yang membawa anak, orang buta, orang cacat, orang gagu, bahkan tukang sapu. Ada beberapa yang mengganggu dan nampaknya sangat memanfaatkan situasi. Saya tidak tahu, apakah mereka benar-benar seperti itu, atau akal-akalan untuk mendapatkan uang. Entahlah..saya tidak ingin ambil pusing. Hanya tetap berpikiran baik saja. Toh jika mereka berbohong, mereka sendiri yang akan rugi.

Suatu hari, saya mendapat duduk di dekat pintu. Hebatnya kereta ekonomi di Indonesia, tidak ada pintu yang tertutup..saya tidak tahu, apakah memang di desain tidak ada pintu, atau kah tidak bisa tertutup, atau apa. Yang pasti, tidak ada satu pun pintu yang tertutup. Di pintu dekat saya duduk, ada sekumpulan anak jalanan yang sedang menikmati angin malam. Ada yang berprofesi sebagai tukang sapu, ada juga yang saya tidak tahu apa kerja mereka. Hanya saja, saat itu mereka duduk berkelompok, dengan kaos hitam dan celana jeans belel. Usianya pun beragam, ada usia sekolah (SD) hingga remaja.

Saat itu, saya tertegun pada seorang bocah. Ia masih kecil, mungkin kelas 5 SD. Pakaiannya lusuh, celananya robek termakan usia dan ia merokok. Hatiku tersiksa saat itu. Saya teringat akan seseorang yang saya kenal, yang saya sayangi tapi saya tidak tahu lagi bagaimana kabarnya. Apakah ia melanjutkan sekolahnya, ataukah berakhir luntang lantung tanpa pendidikan dan tanpa kasih sayang orang tua. Saya tidak tahu. Saya kecewa sekali pada orang tuanya. Sangat tidak bertanggung jawab. Anak itu hanyalah korban keegoisan dan hawa nafsu tanpa akal sehat dan moral orang tua yang tidak punya hati nurani.

Kabar terakhir yang saya dengar beberapa tahun yang lalu, sang ibu menyuruh si anak untuk mencari ayahnya untuk minta sekolah. Saat itu usianya 14 tahun. Namun, ia baru sekolah lagi, dan baru duduk di bangku kelas 4. Itu pun bukan biaya dari si ayah. Karena sesuatu dan lain hal, anak itu kabur karena si ayah meninggalkannya. Ia berusaha mengejar si ayah. Tapi tahun ini, ketika aku bertemu dengan ayah anak itu. Tak ada kabar apapun darinya, dan ia tidak bersama anaknya itu, maupun istri mudanya. Ia kini menumpang di rumah istri tuanya, namun keadaan di sana sungguh tidak nyaman, ada sakit hati dan ketidakberdayaan.

Anak itu kini berusia 17 tahun. Anak-anak seumurnya sedang sibuk menyiapkan diri untuk kuliah. Tapi entah apa yang terjadi dengannya. Semoga ia selalu dalam lindungan-Mu, Ya Allah. Meskipun ia sudah tidak lagi mengenaliku, tapi saya berharap kini ia baik-baik saja. Namun, jika saya diberi kesempatan untuk dapat  bertemu dengannya lagi, dan ia mau sekolah. Saya berharap saya bisa membantunya.

Sebenarnya judul tulisan saya ini tidak terlalu singkron, tapi saya hanya ingin mengungkapkan bahwa, saya sangat bersyukur dengan keadaan saya meskipun masih belum terlalu baik, tapi saya masih jauh lebih baik dari mereka dan saya berharap, jika saya diberikan kesempatan untuk berbuat lebih, saya akan memanfaatkannya sebaik mungkin.

Thank You Allah for the lessons You give it to me.

Comments

Popular posts from this blog

Different but Not Less

Grimace

Losing Isaiah