Ironi KKW

Egoisme dan Individualisme warga ibukota, kali ini kembali ku lihat.
Sore ini, seperti sore-sore biasanya, aku menunggu kereta dari Stasiun Dukuh Atas, lalu transit di Stasiun Tanah Abang. Jika beruntung, aku masih mendapatkan KRL Ekonomi AC Ciujung, tapi jika terlambat, maka aku akan naik kereta yg lebih dulu sampai, entah itu Sudex (Sudirman Express), ataukah AC Kota.
Sore ini, seperti sore-sore biasanya, aku berada di dalam KKW (Kereta Khusus Wanita). Aku memang lebih memilih berdesak-desakan di KKW daripada di gerbong campur (masih belum terbiasa menggunakan istilah "kereta" pada "gerbong"). Tapi lagi-lagi kulihat keegoisan penumpang KRL AC.
Sore ini, seperti sore-sore biasanya. Masih saja ada penumpang yang langsung menggelar kuli (kursi lipatnya) padahal saat itu ia baru saja masuk, kereta masih belum jalan, dan masih banyak penumpang yang belum masuk. Dan hal yang paling menyesakkan adalah ketika kondisi kereta sudah penuh, tak ada kesadaran di dalam dirinya untuk berdiri. Para kuliers ini pun seringkali duduk di depan pintu, dan banyak diantara mereka yang masih muda, energik dan ternyata ketika duduk pun mereka justru bermain BB, bergurau dengan teman-temannya. Dan hal lainnya yang sangat mengganggu kepentingan umum.
Yang lucu dari para kuliers ini adalah, jelas-jelas di jendela sudah ada poster untuk duduk di atas kuli maupun lesehan. Tapi tetap saja mereka melakukan itu. Dan ironi-nya, mereka adalah kaum-kaum terpelajar, para eksmud yang dandanannya sangat rapih. Hanya dengan alasan, "saya kan sudah bayar", atau, "itu kan karena kamu tidak punya kursi lipet seperti saya", mereka tega mengganggu kenyamanan umum.
Sore ini, masih seperti sore-sore biasanya. Aku tidak memaksakan diriku untuk bisa langsung masuk ke dalam kereta ketika baru sampai. Karena malu rasanya bila kita yang masih muda berlomba-lomba dengan yang sudah lebih tua maupun yang lebih berhak mendapatkan tempat duduk.
Namun sore ini, tak seperti sore-sore biasanya. Aku melihat ibu-ibu dengan pakaian yang lusuh menggendong anaknya di dalam kereta. Ia melihat ke sana kemari, tapi tak ada satu pun penumpang yang memberinya duduk. Akhirnya, ia pun lepas gendongan anaknya. Anak perempuan kecil itu berdiri. Tak lama, ada ibu-ibu yang berada di dekatnya memberikan tempat duduk untuk anak itu. Hanya anaknya. Entahlah mengapa demikian, apa karena ia begitu lelah sehingga tidak bisa memberikan tempat duduknya kepada ibu si anak tadi, ataukah karena penampilan lusuh si ibu? Mudah-mudahan saja bukan yang kedua.
Sore ini, anak kecil tadi menangis. Ibunya menggendong si anak. Di belakang saya, ada ibu-ibu yang meminta agar ada yang memberikan tempat duduk, tetapi tidak ada yang menanggapi. Saya juga terlalu jauh untuk bisa menegur, karena masih ada orang yang lebih besar di depan saya.
Saat ini, si ibu berpakaian lusuh tadi masih berdiri sambil menggendong anaknya. Saya masih berdiri diantara penumpang hingga stasiun Pd. Ranji. Tapi entah sampai mana si ibu tersebut harus tetap berdiri, karena banyak ibu-ibu muda maupun tua yang sedang "tidur". Entah sampai kapan ia akan bangun?

#menunggu

Comments

Popular posts from this blog

Different but Not Less

Grimace

Losing Isaiah